Selamat datang di MTsN 3 Mataram, Madrasah Uswah (Unggul, Santun, ber-Wawasan, ber-Akhlak dan Handal)

Sosialisasi HIV/AIDS di MTsN 3 Mataram: Menangkal Mitos, Meneguhkan Fakta

mtsn 3 mataram
Selain Sosialisasi Hasil SPI, Kemenag Kota Mataram Berikan Edukasi Pencegahan HIV AIDS

Mataram– Bersama Kantor Kemenag Kota Mataram, MTsN 3 Mataram mengadakan Sosialisasi Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan dan Sosialisasi Pendidikan Anti Korupsi, sekaligus dirangkaikan dengan edukasi pencegahan HIV/AIDS.

Kegiatan ini diadakan pada Selasa, 17 Juni 2025 dihadiri oleh seluruh dewan guru dan staf karyawan.

Acara penting ini secara resmi dibuka oleh Kepala Seksi Pendidikan Madrasah (Penmad) Kementerian Agama Kota Mataram, Hj. Ratna Mufida, S.H., yang hadir bersama para pengawas madrasah.

Salah satu sesi paling penting dalam kegiatan ini adalah pemaparan edukatif tentang HIV/AIDS oleh Pengawas Pembina MTsN 3 Mataram, Hj. Siti Rubiaingsih. Ia menyajikan materi komprehensif mengenai HIV/AIDS yang ditujukan kepada para guru, staf, dan siswa untuk meningkatkan pemahaman, meluruskan mitos, serta memperkuat strategi pencegahan di lingkungan sekolah dan masyarakat.

“Virus ini nyata, dan bukan mitos. Tapi, pengetahuan yang salah jauh lebih berbahaya daripada virus itu sendiri,” ujar Hj. Siti Rubiaingsih.

Dalam pemaparannya, Hj. Siti menyampaikan bahwa HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, khususnya sel darah putih jenis CD4 atau T-helper. Infeksi HIV yang tidak ditangani dengan baik akan berkembang menjadi AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome), yaitu suatu kondisi di mana sistem kekebalan tubuh sangat lemah dan tidak mampu lagi melawan infeksi lain yang masuk.

Ia menjelaskan bahwa proses infeksi HIV berlangsung dalam beberapa tahapan: mulai dari masa jendela (window period), yaitu 1–3 bulan setelah infeksi di mana tes HIV bisa saja menunjukkan hasil negatif, kemudian tahap asimptomatik di mana virus berkembang diam-diam tanpa menunjukkan gejala apa pun, lalu masuk ke tahap simptomatik dengan gejala seperti penurunan berat badan drastis, demam berkepanjangan, diare, dan infeksi kulit yang sulit sembuh. Jika tidak ditangani, maka infeksi memasuki tahap akhir, yaitu AIDS.

Lebih lanjut, Hj. Siti Rubianingsih memaparkan secara rinci cara-cara penularan HIV, yang mencakup transfusi darah yang tidak steril, berbagi jarum suntik (baik untuk penggunaan narkoba, tato, atau tindik), penularan dari ibu ke anak saat hamil, melahirkan, atau menyusui, serta hubungan seksual tanpa pengaman.

Ia menegaskan bahwa HIV tidak menular melalui kontak biasa seperti berjabat tangan, berbagi makanan, menggunakan toilet umum bersama, atau melalui gigitan nyamuk. Penjelasan ini sangat penting untuk menghapus mitos dan kesalahpahaman yang masih sering terjadi di masyarakat.

Dalam sesi berikutnya, Hj. Siti secara khusus mengangkat bagian yang sering luput dari perhatian, yakni mitos-mitos keliru tentang HIV/AIDS. Ia mengungkapkan bahwa banyak masyarakat masih meyakini bahwa HIV adalah kutukan atau hukuman dari Tuhan, atau hanya menyerang kelompok tertentu seperti pekerja seks dan pengguna narkoba.

Ia menegaskan bahwa HIV adalah penyakit medis yang bisa menyerang siapa saja, tanpa memandang usia, jenis kelamin, agama, ataupun latar belakang sosial ekonomi. Oleh karena itu, pencegahan harus dilakukan oleh semua pihak, dan bukan hanya dibebankan pada kelompok tertentu saja.

Ia juga membantah pandangan bahwa ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) selalu tampak sakit; faktanya, banyak ODHA yang tampak sehat selama bertahun-tahun berkat terapi yang tepat.

Dalam upaya pencegahan, Hj. Siti Rubiaingsih menjelaskan strategi yang komprehensif, baik dari sisi perilaku maupun intervensi medis. Strategi perilaku meliputi tidak melakukan hubungan seksual pranikah, menggunakan kondom secara konsisten, tidak berbagi alat pribadi seperti silet dan gunting kuku, serta menjauhi narkoba suntik.

Di sisi medis, ia menyampaikan pentingnya ART (Antiretroviral Therapy) yang berfungsi menekan perkembangan virus dan menjaga daya tahan tubuh ODHA agar tetap stabil. Selain itu, beliau juga memperkenalkan konsep PEP (Post-Exposure Prophylaxis), yaitu pengobatan yang diberikan dalam waktu 72 jam setelah kemungkinan terpapar HIV, serta PrEP (Pre-Exposure Prophylaxis), yaitu pengobatan preventif harian bagi mereka yang memiliki risiko tinggi tertular HIV.

Pentingnya edukasi HIV/AIDS di lingkungan sekolah juga menjadi bagian krusial dari pemaparan Hj. Siti. Ia mengimbau agar sekolah mulai memasukkan topik HIV/AIDS ke dalam pembelajaran tematik dan kegiatan ekstrakurikuler.

Edukasi ini sebaiknya tidak dilakukan secara satu arah, tetapi dengan pendekatan partisipatif seperti diskusi kelompok, pemutaran video edukatif, permainan interaktif, dan kuis berhadiah. Materi ajar dapat diperkaya dengan infografis, gambar anatomi tubuh, simulasi penularan, serta testimoni dari penyintas HIV.

Selain itu, ia menyarankan agar madrasah menjalin kerja sama dengan puskesmas dan dinas kesehatan agar mendapatkan narasumber medis yang berkompeten serta akses terhadap bahan edukasi yang valid dan mutakhir.

Hj. Siti juga membahas tentang pentingnya diagnosis dini melalui tes HIV secara rutin, terutama bagi individu dengan perilaku berisiko. Ia menjelaskan berbagai jenis tes yang tersedia, termasuk tes serologis yang mendeteksi antibodi, dan tes PCR (Polymerase Chain Reaction) yang dapat mendeteksi virus lebih awal. Diagnosa dini akan membantu ODHA mendapatkan terapi lebih cepat sehingga kualitas hidup mereka lebih terjaga.

Menutup materinya, Hj. Siti menekankan peran penting guru dan komunitas dalam mendorong pembelajaran tentang HIV/AIDS yang sehat, berempati, dan inklusif. Ia mendorong guru untuk menjadi fasilitator dan agen perubahan yang menyebarkan informasi yang benar dan melawan hoaks.

Ia menyinggung perlunya madrasah untuk menerapkan kebijakan yang mendukung ODHA, seperti menjaga kerahasiaan status, tidak mendiskriminasi, dan memberikan dukungan psikososial. Dalam konteks lokal, ia menyebutkan bahwa Kabupaten Lombok Barat sudah memiliki kebijakan resmi berupa SK Bupati tertanggal 10 Mei 2024 yang mendukung penyelenggaraan edukasi HIV/AIDS secara terpadu di satuan pendidikan.

Redaksi : Ruslan Wahid, ST (Pembina KIR)

0 Komentar